Keberhasilan industri film Korea Selatan dalam menembus pasar global menjadi inspirasi penting bagi Indonesia. Proses panjang dan dukungan komprehensif menjadi kunci utama di balik fenomena ini.
Awal Kebangkitan dan Kebijakan Kunci
Awalnya, industri film Korea Selatan didominasi oleh produksi Hollywood. Namun, pada tahun 1996, Korea Selatan memperkenalkan kebijakan screen quota system yang mewajibkan penayangan film domestik selama 146 hari dalam setahun. Sayangnya, kuota ini berkurang menjadi 73 hari pada tahun 2006.
Perkembangan pesat sinema Korea juga didorong oleh kehadiran Busan International Film Festival (BIFF). Kota Busan bahkan menjelma menjadi pusat sinema yang menginspirasi generasi baru pembuat film.
Era Keemasan dan Identitas Global
Memasuki era 2000-an, industri film Korea mengalami pertumbuhan signifikan. Keunggulan kreatif pada fase ini berpusat pada sistem produksi yang dipimpin oleh sutradara-sutradara ternama seperti Bong Joon-Ho, Park Chan-Wook, dan Lee Chang-Dong.
“Era ini mengukuhkan identitas Korea Selatan sebagai budaya global yang menghasilkan sinema-sinema yang bagus, yang tidak hanya dikenal di Korea tapi juga dikenal secara internasional,” ujar Chun Hye-jin, Direktur Program Film Internasional di Busan Cinema Center, dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Tantangan Baru: Penurunan Pasar Domestik dan Kualitas
Perkembangan layanan platform Over The Top (OTT) turut memperluas jangkauan film Korea. Namun, fenomena ini juga membawa dampak negatif. Pasar film domestik Korea dilaporkan mengalami penurunan pada tahun 2025.
“Meski memiliki posisi global yang kuat, pasar film domestik Korea itu, lama-lama menjadi turun pada tahun 2025,” ungkap Chun. Penurunan ini tidak hanya terjadi dari segi penonton, tetapi juga kualitas film.
Chun menambahkan, “Kurangnya juga diversity, dan para penonton itu menilai bahwa filmnya itu, kurang complete atau weak dari completeness-nya.” Ia menekankan bahwa penurunan jumlah penonton bukan semata-mata akibat OTT, melainkan kurangnya film berkualitas yang layak ditonton di bioskop, seiring meningkatnya selera dan ekspektasi masyarakat.
Strategi Pemerintah Korea Selatan dan Saran untuk Indonesia
Menyikapi tantangan tersebut, Pemerintah Korea Selatan meluncurkan berbagai strategi untuk memperkuat ekosistem perfilman. Dukungan finansial untuk produksi, penelitian dan pengembangan, pelatihan talenta, serta bantuan penetrasi pasar internasional menjadi prioritas.
Menanggapi pertanyaan mengenai potensi film Indonesia menembus pasar internasional, Chun menyarankan agar Indonesia fokus pada genre horor sebagai ciri khas.
“Jadi salah satunya mungkin kalau di Thailand banyak film atau drama dengan genre boys love, romance, itu bisa jadi ciri khas dari Thailand. Mungkin kalau Indonesia ciri khasnya bisa jadi genre horor itu,” kata Chun.
Ia menambahkan, “Harus punya tema di mana bisa jadi top of mind orang-orang. Kalau Thailand ingetnya boys love-nya, Indonesia dengan genre horornya. Nanti itu menjadi starting point orang-orang itu tertarik, ternyata film Indonesia itu seru juga ya.”
Peran Dukungan Swasta dalam Kesuksesan Global
Chun juga mengklarifikasi bahwa tidak semua film Korea yang sukses di pasar internasional mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Film-film seperti Squid Game dan Parasite lebih banyak didukung oleh perusahaan besar seperti CJ, termasuk dalam hal promosi.
“Sebenarnya dibandingkan dukungan dari pemerintahan, film-film yang sukses yang masuk OTT seperti Squid Games, Parasite, sebenarnya lebih banyak menerima dukungan dari perusahaan besar seperti CJ. Salah satunya dukungan yang diberikan seperti uang untuk promosi dari film-film tersebut,” jelas Chun.
Ia menyimpulkan, kesuksesan film di kancah internasional merupakan hasil kolaborasi banyak pihak.






